Kenapa Benjamin Sesko Sangat Bernasib Sial di Man United. Di tengah hiruk-pikuk Premier League musim 2025/2026, Benjamin Sesko jadi nama yang sering disebut-sebut dengan nada prihatin di kubu Manchester United. Striker Slovenia berusia 22 tahun ini, yang direkrut musim panas lalu dengan harapan jadi penerus Erling Haaland, justru tampak bernasib sial sejak debut. Baru-baru ini, pada laga imbang 2-2 lawan Tottenham di pekan ke-11 tanggal 8 November 2025, Sesko cedera lutut parah di menit ke-88, usai gagal konversi dua peluang emas sebelumnya. Cedera ini bukan yang pertama; sejak bergabung, ia sudah absen enam minggu karena masalah hamstring, dan kini diragukan tampil hingga akhir tahun. Di balik talenta alaminya—dengan kecepatan 35 km/jam dan fisik 1,95 meter—ada rangkaian nasib buruk yang bikin performanya mandek: dari adaptasi lambat hingga tekanan tinggi di Old Trafford. Amorim, pelatih United, sebut ini “siklus sial yang harus dipatahkan”, tapi bagi Sesko, ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Dengan hanya dua gol dari 10 laga, nasib sial ini jadi sorotan, tapi juga peluang untuk bangkit. MAKNA LAGU
Cedera Berulang yang Hantui Karier Muda: Kenapa Benjamin Sesko Sangat Bernasib Sial di Man United
Nasib sial Sesko dimulai sejak hari pertama di United. Transfer 70 juta euro dari klub Jerman musim panas lalu penuh janji, tapi hamstring robek di sesi latihan pra-musim bikin ia absen tiga laga pembuka. Kembali di September, ia cetak gol debut lawan Liverpool—sundulan indah dari umpan Fernandes—tapi seminggu kemudian, cedera lagi saat internasional dengan Slovenia. Lutut kanannya, yang kini jadi korban di laga Tottenham, sudah operasi minor tahun lalu, dan dokter tim khawatir ini kronis. Di menit 88 melawan Spurs, ia jatuh usai duel udara dengan Pedro Porro; MRI konfirmasi ligament robek parsial, absen minimal delapan minggu.
Statistik pilu: Sesko absen 25 persen laga musim ini, dan setiap comeback-nya diikuti performa lesu—rata-rata 0,8 tembakan per laga pasca-cedera. Amorim coba lindungi dengan rotasi, tapi jadwal padat United—termasuk Liga Champions—bikin pemulihan terganggu. Ini bukan cuma fisik; mentalnya terpukul, seperti saat ia bilang pasca-debut, “Saya datang untuk gol, tapi tubuh bilang lain.” Nasib sial ini mirip kasus striker muda lain yang patah asa di liga top, tapi bagi Sesko, ini PR besar: latih kekuatan inti dan manajemen beban untuk hindari siklus ini. Tanpa itu, potensi 20 gol musim bakal cuma mimpi.
Peluang Terbuang yang Bikin Frustrasi: Kenapa Benjamin Sesko Sangat Bernasib Sial di Man United
Bukan cedera saja yang sial; Sesko sering kehilangan momen krusial di lapangan. Lawan Tottenham, ia punya dua peluang emas: solo run menit 58 lewat tiga bek Spurs, tapi tembakannya melebar tipis dari gawang Vicario; lalu header lemah menit 72 dari umpan silang Dalot, yang seharusnya jadi gol mudah. Dua miss itu bikin United tertinggal sementara, sebelum De Ligt selamatkan dengan equalizer akhir. Musim ini, konversi peluangnya cuma 18 persen—terendah di lini depan United—dari 12 big chance, ia cetak tiga saja.
Ini akarnya dari tekanan adaptasi: di klub lama, ia main bebas dengan umpan terukur, tapi di United, pressing tinggi Amorim bikin ia buru-buru. Contoh lain: lawan Arsenal Oktober, ia gagal penalti—tendangan lemah ke tengah yang ditepis Raya—dan United kalah 2-1. Atau saat lawan City, sundulan voli-nya kena mistar di menit 89, nyaris ubah hasil seri jadi menang. Statistik xG (expected goals) bilang ia underperform 3,2 gol, bukti nasib sial bukan cuma hoki buruk, tapi juga kurangnya chemistry dengan Fernandes yang sering beri umpan terlalu cepat. Sesko akui, “Saya terlalu ingin bukti diri, malah jadi kaku.” PR-nya: latihan finishing di bawah tekanan, agar peluang emas tak lagi jadi penyesalan.
Adaptasi Lambat di Tekanan Old Trafford
Bergabung di usia muda ke klub sebesar United bikin Sesko kesulitan adaptasi, tambah lapisan sial pada nasibnya. Old Trafford penuh ekspektasi—penggemar ingin Haaland kedua, bukan prosesor lambat. Sesko, yang di klub sebelumnya cetak 16 gol musim lalu, kini rata-rata 0,2 gol per laga. Masalah bahasa dan budaya juga berperan: wawancara-nya sering kaku, dan isolasi dari rekan non-Eropa bikin ia kurang nyaman di ruang ganti.
Taktik Amorim, yang fokus 3-4-3, tak cocok sepenuhnya dengan gaya target man-nya; ia sering terjebak di kotak penalti tanpa ruang. Lawan Tottenham, ia sentuh bola cuma 28 kali—terendah musim ini—karena Spurs parkir bus awal. Ini kontras dengan Mbeumo, pinjaman lain yang lebih fleksibel. Mental juga: kritik media usai miss penalti Arsenal bikin ia ragu, seperti terlihat di duel fisik di mana ia kalah 40 persen. Amorim coba bantu dengan psikolog tim, tapi nasib sial ini butuh waktu—mungkin pinjam ke klub Championship untuk ritme. Bagi Sesko, adaptasi ini ujian: sukses di sini, ia jadi ikon; gagal, label “flop” melekat selamanya.
Kesimpulan
Benjamin Sesko bernasib sial di United karena campuran cedera berulang, peluang terbuang, dan adaptasi lambat—rangkaian yang bikin talenta briliannya tertutup kabut. Cedera lutut terbaru lawan Tottenham jadi puncak gunung es, tapi juga titik balik potensial di jeda internasional. Amorim punya tugas polesan: lindungi fisiknya, tingkatkan finishing, dan bangun kepercayaan diri. Bagi Sesko, ini bukan akhir, tapi babak sulit yang bentuk karir. United butuh striker seperti dia untuk mimpi top four, dan dengan kesabaran, nasib sial ini bisa berbalik jadi legenda. Musim masih panjang; saatnya Slovenia ini angkat kepala dan tunjukkan gigi.

