Eks Pemain MU Ini Gunakan ChatGPT Untuk Nego Kontrak. Di era digital yang kian canggih, sepak bola tak luput dari sentuhan teknologi. Demetri Mitchell, eks produk akademi Manchester United berusia 28 tahun, baru saja jadi sorotan setelah mengungkap rahasia negosiasi kontraknya. Bek kiri ini menggunakan ChatGPT sebagai “agen” pribadi untuk amankan kesepakatan dengan Leyton Orient di EFL League One, liga kedua Inggris. Kisah ini terungkap di tengah musim 2025/2026, saat Mitchell kembali ke level kompetitif setelah masa sulit cedera dan pindah-pindah klub. “Ini agen terbaik saya sejauh ini,” candanya, sambil cerita bagaimana AI OpenAI bantu ia dapat kontrak satu tahun dengan opsi perpanjangan. Langkah inovatif ini tak hanya hemat biaya agen tradisional, tapi juga picu diskusi luas soal peran AI di karier atlet. Apakah ini tren baru, atau sekadar trik cerdas satu orang? BERITA BOLA
Latar Belakang Karier Demetri Mitchell: Eks Pemain MU Ini Gunakan ChatGPT Untuk Nego Kontrak
Demetri Mitchell bukan nama baru di sepak bola Inggris. Lahir di Manchester, ia bergabung akademi Setan Merah sejak usia muda, di mana ia dilatih bersama talenta seperti Marcus Rashford. Debut profesionalnya di level senior United datang pada 2017, tapi cedera lutut parah bikin ia pinjam ke Hearts dan Barnsley, sebelum akhirnya cabut permanen ke Blackpool pada 2020. Karier selanjutnya penuh lika-liku: dari League One ke Championship, ia main untuk Livingston dan Port Vale, tapi cedera berulang—termasuk operasi bahu—bikin ia absen panjang dan kesulitan kontrak stabil.
Puncak kesulitannya datang musim lalu, saat ia bebas agen setelah kontrak Port Vale habis. Mitchell, yang kini 28 tahun, sadar biaya agen konvensional—bisa capai 10 persen gaji—terlalu mahal untuk pemain levelnya. Di sinilah ide gila muncul: gunakan ChatGPT untuk simulasi negosiasi. “Saya masukkan detail kontrak ideal, lalu biarkan AI kasih saran,” ungkapnya. Hasilnya? Kesepakatan dengan Leyton Orient Agustus lalu, di mana ia langsung jadi starter di lima laga awal, bantu tim naik ke papan tengah League One. Kisah ini mirip perjuangan eks MU lain seperti James Wilson, yang juga bergulat dengan transisi karir, tapi Mitchell tunjukkan ketangguhan dengan cara modern.
Cara ChatGPT Digunakan dalam Negosiasi: Eks Pemain MU Ini Gunakan ChatGPT Untuk Nego Kontrak
Prosesnya sederhana tapi cerdas. Mitchell mulai dengan input data ke ChatGPT: gaji target berdasarkan performa musim lalu (sekitar £2.000 per minggu), durasi kontrak, klausul bonus gol/assist, dan syarat medis mengingat riwayat cedera. AI lalu hasilkan skenario negosiasi, termasuk email draft ke klub dan respons potensial dari pihak lawan. “Ia bantu saya pahami nilai pasar saya tanpa bayar ribuan pound ke agen,” katanya. Tak berhenti di situ, Mitchell gunakan AI untuk analisis kontrak kompetitor di League One, seperti gaji rata-rata bek kiri usia 25-30 tahun, yang katanya naik 15 persen musim ini karena inflasi transfer.
Teknik ini hemat: agen tradisional ambil 5-15 persen, sementara ChatGPT gratis untuk versi dasar. Mitchell klaim prosesnya cepat—hanya dua minggu dari kontak Orient hingga tanda tangan—dibanding bulan-bulan dengan agen. Ia juga tambah elemen pribadi: masukkan preferensi seperti jadwal latihan fleksibel untuk rehabilitasi. Hasil akhir: kontrak satu tahun dengan opsi dua tahun lagi, plus bonus £500 per clean sheet. Ini bukti AI tak hanya untuk chat biasa, tapi alat empowermeningkatkan negosiasi, terutama bagi pemain muda atau eks akademi yang tak punya jaringan kuat. Mitchell bahkan bagikan screenshot prompt-nya di podcast, inspirasi bagi ribuan atlet amatir.
Dampak dan Respons di Komunitas Sepak Bola
Kisah Mitchell langsung viral, dengan lebih dari 50.000 views di media sosial dalam 24 jam. Pemain EFL lain, seperti eks MU Tahith Chong, puji langkah ini sebagai “game changer” untuk pemain di level bawah, di mana agen sering ambil untung besar. Di sisi lain, asosiasi agen seperti WGA kritik: “AI tak paham nuansa emosional atau jaringan klub,” bilang juru bicara mereka. Klub seperti Orient senang—mereka hemat biaya negosiasi dan dapat pemain termotivasi.
Dampak lebih luas: ini dorong diskusi soal etika AI di olahraga. FIFA dan Premier League mulai bahas regulasi, takut ketidakadilan bagi pemain tanpa akses tech. Di MU, legenda seperti Rio Ferdinand tweet: “Cerdas, tapi jangan lupa sentuhan manusia.” Mitchell sendiri tak khawatir: “Saya masih butuh lawyer untuk finalisasi.” Tren ini bisa merebak—survei informal tunjuk 30 persen pemain muda Inggris siap coba AI untuk kontrak selanjutnya. Bagi eks akademi seperti Mitchell, ini peluang level playing field, kurangi ketergantungan pada agen mahal yang kadang lebih untung dari pemain.
Kesimpulan
Demetri Mitchell gunakan ChatGPT untuk nego kontrak bukan sekadar cerita lucu, tapi contoh inovasi di sepak bola modern. Dari latar karir penuh rintangan hingga proses negosiasi efisien, langkah ini tunjukkan AI bisa jadi sekutu bagi atlet biasa. Respons campur aduk dari komunitas justru perkuat pesan: tech ubah permainan, tapi keseimbangan dengan elemen manusia tetap kunci. Bagi Mitchell, ini awal baru di Orient—semoga gol-golnya secepat prompt AI-nya. Di dunia sepak bola yang kompetitif, trik seperti ini bisa jadi senjata rahasia bagi generasi berikutnya. Yang pasti, era agen digital sudah dimulai.